KETIKA GURU DAN SISWA TAK BERADAB

Dunia pendidakan di era modern semakin maju dan berkembang pesat, bahkan sekolah dan perguruan tinggi muncul seperti jamur disetiap daerah. Dari sisi kualitas banyaknya sekolah dan perguruan tinggi mendapatkan akreditasi A dan istimewa dari kemenristekdikti. Dengan perlohan akreditas A dan istimewa tersebut menunjukkan apakah pendidikan kita semakin baik? Tentu jawabanya tidak! Secara admistrasi jawabanya YA, tetapi pernahkah kita berpikir ada sistem yang hilang dari pendidikan yang dari dulu sampai sekarang hanya sekedar wacana angin dalam dunia pendidikan yaitu Adab, atau dunia kurikulum Pendidikan menyebutnya Pendidikan karakter. Guru dan para akademisi berulangkali menyusun kuriukulum pendidikan agar semakin baik, tetapi kurikukulum berkaitan dengan adab tidak pernah disusun secara serius, bahkan adab hanya sekedar diselipkan secara abstrak dalam kurikulum pendidikan. Sekrang nama kurikulum sudah berubah menjadi kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka namun sampai saat ini adab para siswa dan guru jauh dari kata MERDEKA. Pendidika dan siswa/mahasiswa semakin membebasakan dirinya dari adab sehingga semakin hari semakin tak beradab.
Kurikulum Pendidikan terlalu fokus pada IPK dan kegiatan lapangan mahasiswa sehingga adab tidak menjadi tujuan utama dalam Pendidikan. Hal ini dibuktikan para guru dan siswa krisis adab. Sudah banyak bukti bahwa pendidik dan siswa/mahasiswa tidak terjalin lagi hubungan yang harmonis, Bukti di lapangan banyak guru melakukan Tindakan yang senonoh pada siswanya. Masihkan kita ingat pada peristiwa pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum guru pesantren jawa barat memperkosa santri perempuannya 12 orang dalam waktu yang sangat lama, kemudian di sekolah-sekolah guru melakukan pencabulan dan memerkosaan pada siswa, bahkan persistiwa ini tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, di perguruan tinggi pun sering terjadi pencabulan dan pemerkosaan. Pemerkosaan tidak hanya dilakukan oleh guru atau pendidik, tetapi para siswa juga melakukan hal yang sama seperti guru, mereka juga melakukan pemerkosaan pada teman sekolah perempuanya sendiri, bahkan sadisnya mereka mengiliri temannya, usai digilir bahkan tidak puas sampai di sana, mereka bahkan sampai tega membubuh temannya sendiri. Mirisnya lagi persistiwa pemerkosan itu dilakukan di tempat belajar (sekolah). Tentu peristiwa ini sangat miris dan menyengat hati yang paling dalam. Berdasarakan data dari KPAI bahwa 88% Kekerasan Seksual Anak di Sekolah Pelakunya Guru dan Kepala Sekolah pada tahun 2021, sedangakan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari, 2022, kemudian data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2020 dan 2021, jumlah kasus perkosaan dan pencabulan di tanah air mencapai angka di atas 5.900 kasus per tahun. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang periode sebelum pandemi yaitu pada 2017 hingga 2019.
Selain kasus pemerkosaan, kasus kekerasan fisik juga sering terjadi ditempat orang-orang terdidik. Ini dilakukan juga oleh guru dan siswa itu sendiri. Belum lagi kasus tawuran siswa antar sekolah satu dengan sekolah lainya yang menimbulkan partumpahan darah, bahkan sampai pembunuhan sehingga menjerat mereka ke ranah hukum. Ditambah lagi para guru dan siswa pesta minuman miras serta mengkonsumsi narkoba bersama-sama. Jika ditelusuri data dari kasus di atas tentu sangat miris melihatnya. Melihat peristiwa seperti ini terjadi di lingkungan pendidikan, tentu kita akan bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan sistem kurikulum pendidikan kita? mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu jawabanya roh pendidikan itu telah hilang yaitu adab guru dan siswa. Terus siapakah yang bertanggung jawban atas hilangnya adab ini? Guru dan siswakah, menteri pendidikankah? Atau siapa? Yang bertanggung tentu semua stockholder lembaga pendidikan, masyarakat, serta keluarga yang menjalankan roda pendidikan. Saat ini para generasi melinial bangsa sudah kehilangan akal sehat sehingga tidak berpikir panjang dalam melakukan tindakan kriminal, bahkan mereka tindakan mereka melebihi binatang.
Padahal dalam UU no 20 tahun 2003 dikatakan bahwa “Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Tetapi kenyataanya undang-undang tinggallah undang-undang. Undang-udang Pendidikan hanya ditulis pada kertas. Jarang sekali para guru atau akademisi membaca undang-undang di atas, justru para pendidik lebih sibuk membaca dengan admistrasiya.
Menurut hemat penulis, dalam sistem kurikulum Pendidikan kita harus memperhatikan keberadaan materi adab dalam kurikulum. Sejatinya ukuran majunya pendidikankan, apabila mampu mencetak guru dan siswa yang beradab. Guru dan mahasiswa/siswa nilai/IPK yang tinggi tidak menjamin mereka orang yang beradab. Buktinya di lapangan banyak para mahasiswa/siswa memiliki nilai dan IPK yang tinggi tidak beradab. Ijazah tidak menunjukkan orang itu pinter apalagi beradab, ijazah hanya tanda orang pernah mengikuti proses pendidikan/belajar.
Melalui artikel ini, penulis mengajak para akaemisi harus menjadi contoh bagi peserta didik kita, seperti semboyan yang diajarkan oleh bapak pendidikan nasional Kihajar Dewantara yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Maka sudah seharusnya para akademisi menerapkan semboyan pendidikan di atas serta menekankan para siswa/mahasiswa menekankan nila-nilai adab dalam menutut ilmu.
Penulis:
–Herman Wijaya: Dosen Universitas Hamzanwadi & Mahasiswa S3 di Universitas Sebelas Maret
–Muhammad Rohmadi: Dosen Universitas Sebelas Maret